Mari HMI Berdakwah di (Mesjid) Kampus;
Sebuah Jawaban Dalam Rangka HMI Back To Campus
Oleh Arip Musthopa
Latar Belakang
Strategi Dakwah
Dalam beberapa
tahun ke belakang dan ke depan, HMI dihadapkan pada dua permasalahan serius. Pertama,
eksistensi HMI yang tidak lagi signifikan dan cenderung tenggelam di kampus-kampus
(besar-ternama). Kedua, perkaderan HMI yang tidak berjalan dengan baik
karena rekrutmen dan sistem pembinaan pasca Latihan Kader yang tidak tersistem dan terlaksana
dengan baik sehingga jauh dari kesan efektif. Dua permasalahan tersebut semakin
menyudutkan HMI di tengah kompetisi dengan organisasi lain dan eksistensi HMI
pun diragukan masa depannya. Apa akar dari kondisi atau permasalahan tersebut?
Hasrat berkuasa di HMI telah menimbulkan gelombang politisasi yang sangat deras
di HMI. Akibatnya HMI lupa bahwa khittah-nya adalah ‘berdakwah’, baik
itu di kampus maupun di masyarakat.[1]
Dengan demikian, Kondisi di atas terjadi karena hilangnya ruh atau spirit
‘dakwah’ (mission) dalam diri kader-kader HMI.
Dua permasalahan di
atas merupakan latar belakang utama penyusunan naskah ini, dan pemikiran untuk
menyelesaikan kedua permasalahan tersebut dengan satu langkah strategi
merupakan latar belakang berikutnya. Lantas strategi apakah yang bisa ‘sekali
dayung, dua-tiga pulau terlampui’? Dan spirit apa yang bisa disematkan di dalam
strategi tersebut? Strategi tersebut adalah ‘Strategi Dakwah HMI di (Mesjid)
Kampus’ yang diilhami dengan spirit yang hilang di HMI, yakni spirit ‘dakwah’.
Mengatasi kondisi
di atas harus dengan cara mengembalikan ruh dakwah dalam tubuh HMI. Sehingga
membuat aktifitas dan keinginan untuk kembali eksis di kampus dan masyarakat bukan
dengan maksud agar HMI kembali berkuasa seperti nampak pada spirit gerakan HMI back
to campus selama ini, melainkan dalam rangka berdakwah (menjalankan mission
HMI). Keberhasilan berdakwah (di kampus dan masyarakat) niscaya akan
menghantarkan HMI kembali berkuasa. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis, sunnatullah.
Namun apabila keinginan kembali eksis di kampus adalah dalam naungan hasrat
berkuasa/kekuasaan niscaya juga gerakan tersebut tidak akan berhasil (secara
jangka panjang) karena beranjak dari asumsi dasar/niatan yang keliru (tidak
selaras dengan sunnatullah).
Kenapa Dakwah? Kenapa Mesjid?
Jawaban pertama
atas pertanyaan di atas tentu adalah karena spirit dakwah merupakan spirit yang
mengilhami berdirinya HMI seperti tercermin dalam tujuan awal berdirinya HMI,
terutama di tujuan poin ke dua. Hal ini tidak perlu diperdebatkan dan
dijelaskan kembali. Spirit dakwah adalah spirit yang beranjak dari fitrah
manusia sebagai khalifah di muka bumi yang harus bertanggung jawab untuk
menciptakan kondisi yang lebih baik dan fitrah manusia sebagai abdi Allah yang
harus menegakkan ayat-ayat-Nya. Spirit dakwah yang juga berkarakter sepenuhnya
baik tersebut tentu akan menyediakan energi bekerja yang luar biasa karena
dengan sendirinya dakwah tersebut digerakkan oleh ketulusan, keikhlasan, dan
keinginan kerja keras yang mengharapkan ridho Allah SWT. Balasan material bukan
lah sesuatu yang dituju, karena sepenuhnya merupakan sarana dalam rangka
mengharap ridho Allah tersebut. Namun demikian, untuk mengembangkan spirit
dakwah ini, HMI harus membersihkan diri dari hasrat berkuasa sehingga
langkah-langkah strategis yang akan ditempuh dan dilaksanakan tidak dikotori
oleh tindakan-tindakan pragmatis kader dan pengurus HMI.
Saat ini di
kampus-kampus, berkembang Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang “menguasai”
mesjid-mesjid kampus dan menjadikannya media untuk berdakwah. Dengan kurikulum
dan metode yang telah tersistematisasi dengan baik, dengan model corak beragama
yang mengacu kepada gerakan ikhwanul muslimin (Mesir, transnasional), dari
waktu ke waktu gerakan dakwah di mesjid kampus tersebut semakin membesar dan
telah berhasil menghasilkan tokoh-tokoh yang kini telah tampil di panggung
kepemimpinan nasional. Secara umum, gerakan tersebut memiliki karakter yang
berbeda dengan HMI dan bahkan mereka memandang HMI sebagai oragnisasi
kemahasiswaan islam yang tidak islami dan karenanya tidak bisa mereka terima.
Berbagai informasi yang diperoleh oleh penulis dan telah banyak diketahui oleh HMI
sendiri, menyebutkan bahwa dalam lingkungan mereka, HMI kerapkali di
jelek-jelekkan. Kalaupun bukannya dianggap sesat. Hal ini mengakibatkan HMI
tidak dapat masuk ke dalam lingkungan mereka. Kalaupun kader HMI dapat masuk ke
dalamnya, lambat laun posisi mereka disisihkan atau kader HMI tersebut harus
menyimpan rapat-rapat identitas ke-HMI-annya.
Ironisnya, sejarah
menunjukkan bahwa inisiasi berdirinya LDK tersebut berasal kader-kader HMI
seperti Imaddudin Abrurrahim, dll. Nampaknya LDK menampilkan performa seperti
‘kacang lupa akan kulit’ dalam konteks tersebut. Namun kita harus menyadari
bahwa mereka justru menunjukkan konsistensinya untuk berdakwah di mesjid kampus
dan HMI yang mungkin merupakan ‘kacang lupa pada kulit’ karena meninggalkan
mesjid kampus yang merupakan basis utama media implementasi mission-nya yang
telah membuat HMI sangat besar dan eksis.
Setelah tersisih
dari kampus, HMI dengan kemampuan kepemimpinan dan politik yang dimilikinya
dapat terus eksis di kampus melalui organisasi kemahasiswaan semacam Senat
Mahasiswa (kini BEM) dan UKM. Namun sejak LDK memutuskan untuk terjun ke
organisasi-organisasi tersebut, dominasi HMI terancam. Bahkan kini, di
kampus-kampus besar dan ternama, HMI tidak mampu lagi bersaing secara
signifikan dengan mereka. Secara politik, hal ini dapat dijelaskan karena HMI
kalah dalam dukungan basis politik. Dahulu, disamping kader-kader HMI masih
menguasai kampus, dominasi politik mahasiswa HMI di kampus-kampus juga didukung
oleh mekanisme pemilihan Ketua Senat Mahasiswa yang menggunakan mekanisme
perwakilan. Sehingga dengan keterampilan manajemen forum kader-kader HMI yang
di atas rata-rata kader LDK dan organisasi lain, dominasi tersebut dapat
dipertahankan. Namun seiring dengan
perubahan mekanisme pemilihan Ketua/Presiden BEM dari mekanisme perwakilan
kepada mekanisme pemilihan raya, HMI yang sudah tersisih dari mesjid kampus dan
tidak membina basis politiknya yang baru, sulit bersaing dengan LDK (yang
mendeklarasikan berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
pada Maret 1998 di Malang) yang memiliki basis yang sangat jelas, besar, dan
terorganisasi dengan rapih.
Meski telah
tersisih dari kampus dan mengandalkan aktifitas perkaderan di komisariat dan
cabang, saat ini HMI nampak masih cukup percaya diri dan karenanya masih berani
tampil genit di muka publik (politik). Dengan dalih mission, HMI coba fokus
untuk berkontribusi (secara “malu-malu”) dalam ranah publik, terutama secara
politik. Akibatnya, konsentrasinya ke dalam dirinya sendiri menjadi terabaikan.
Realitas dunia di luar dunia kemahasiswaan yang ‘keras’ dan penuh dengan
tawaran pragmatisme menyudutkan idealisme kader-kader HMI. Kondisi tersebut
sesungguhnya merupakan sunnatullah karena lingkungan pasti mempengaruhi
setiap individu atau lembaga. Oleh karena itu, untuk meraih kembali idealisme
yang semakin menipis tersebut, HMI harus ‘membersihkan diri’ dengan kembali dan
lebih banyak tinggal di lingkungan (mesjid) kampus yang merupakan ‘rumah tempat
persemaian idealisme’ tersebut.
Berdakwah :
Menjadi Kader Sejati
Pengembalian spirit
dakwah dalam tubuh HMI dan mengaktualisasikannya sesungguhnya merupakan proses
untuk menjadi kader sejati itu sendiri. Karena kader sesungguhnya merupakan
anggota yang aktif berproses dan membina baik dirinya sendiri maupun
lingkungannya. Dengan berdakwah di mesjid kampus, proses perkaderan tersebut
dapat terfasilitasi dengan baik dan HMI dapat terus dekat dengan publik
mahasiswa. Namun demikian terdapat suara pesimistis, bahwa hal tersebut sulit
dilakukan karena mesjid kampus yang dikuasai oleh LDK/KAMMI dan sikap mereka
yang anti HMI akan menutup ruang bagi kader-kader HMI untuk berproses disana.
Hal demikian
tidaklah patut dijadikan alasan karena mesjid pada dasarnya milik umat Islam.
Mesjid bukanlah ruang privat atau milik kelompok tertentu. Sehingga tidak
berhak seseorang atau suatu kelompok tertentu mendominasinya dan melarang
orang/pihak lain untuk memanfaatkannya untuk berdakwah. Pengecualian hanya
berlaku apabila mesjid tidak digunakan untuk kepentingan dakwah.
Dewasa ini, kultur
berdakwah apalagi sistem dan mekanisme yang baik tidak dimiliki oleh HMI.
Pedoman perkaderan HMI pun tidak mengaturnya dan tidak melihat (mesjid) kampus
sebagai media/tempat perkaderan HMI dapat dilangsungkan. Sehingga wajar apabila
kader tidak memandang berdakwah (di mesjid kampus) merupakan sarana perkaderan
dan prasyarat untuk menjadi kader HMI sejati.
Oleh karena itu,
perlu sinergi antara proses perkaderan di HMI dan itikad untuk berdakwah di
mesjid kampus. Sinergi tersebut nampaknya cukup terbuka karena secara
substantif keduanya merupakan hal yang serupa. Perkaderan maupun berdakwah
adalah sama dalam substansi maupun proses yang harus dilalui.
Bagian kelemahan
dalam sistem perkaderan HMI sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, yakni
di bagian rekrutmen dan pembinaan pasca Latihan Kader dapat ditutupi dengan
menciptakan mekanisme dakwah di mesjid kampus. Kelemahan di dua bagian
tersebut, dapat diatasi dengan cara menciptakan strategi dakwah yang
dilaksanakan di mesjid kampus dengan memanfaatkan fase rekrutmen dan pembinaan
pasca LK dalam sistem perkaderan HMI. Strategi ini sangat sederhana karena
hanya memindahkan proses pembinaan pasca LK[2]
dan metode maperca yang selama ini berlangsung di komisariat (atau tempat lain)
ke mesjid kampus. Kurikulum pun dapat disesuaikan dengan tujuan dan mekanisme
maperca dan pembinaan pasca LK itu sendiri. Singkatnya hanya berpindah tempat
saja.
Dengan karakter HMI
yang tidak mempertentangkan keislaman dan keindonesiaan dan interpretasi
rasionalnya yang proporsional dalam memahami Islam apabila diimplementasikan
dalam dakwah di (mesjid) kampus, akan memberikan kontribusi ‘pelurusan’
substansi dakwah kampus yang selama ini dipraktekkan oleh LDK. LDK telah
menampilkan performa dakwah yang cenderung pada ‘klaim kebenaran’ dalam
memahami islam, mengedepankan aspek ritual ketimbang pemikiran keislaman, proporsi
yang cenderung lebih besar pada aspek keagamaan ketimbang kebangsaan, dan
cenderung mengembangkan Islam ala Timur Tengah (khususnya gaya Ikhwanul
Muslimin), ketimbang mengembangkan Islam ala Asia Tenggara.
Karakteristik tersebut dalam konteks pengembangan agama Islam maupun keindonesiaan
nampaknya kurang begitu tepat.
Metode Dakwah
HMI di Mesjid Kampus
Prinsip metode
dakwah HMI di Mesjid Kampus seperti telah disinggung di atas adalah memindahkan
fase rekrutmen dan pembentukan kader pasca LK ke mesjid kampus. Oleh karena
itu, akan ada dua fase utama dalam dakwah HMI di mesjid kampus ini. Pertama,
fase meletakkan dasar-dasar pemahaman tentang kemanusiaan, identitas keislaman,
dan identitas kemahasiswaan. Fase ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran
mahasiswa baru bahwa mereka memiliki tiga identitas sekaligus, yakni sebagai
manusia, muslim, dan mahasiswa. Kesadaran inilah yang diharapkan menjadi pemicu
untuk mengikuti Latihan Kader I HMI, yang ditawarkan kepada mahasiswa baru
sebagai pintu gerbang menjadi manusia, muslim, dan mahasiswa sejati. Fase ini
dalam sistem perkaderan HMI merupakan fase rekrutmen. Kedua, fase
pembentukan menjadi manusia, muslim, dan mahasiswa sejati. Fase ini menguraikan
dan menegaskan apa yang didapat dalam LK I HMI. Oleh karena itu, yang dapat
mengikutinya wajib mengikuti LK I HMI terlebih dahulu. Secara terinci masing-masing
fase memiliki kurikulum sebagai berikut:
Fase I :
Membangun Kesadaran Sebagai Manusia-Muslim-Mahasiswa
Metode : Diskusi terbatas dengan 5-6 orang (akhwat/ikhwan dipisah) di
mesjid
kampus ba’da Shalat dzukur/ashar
selama 30-45 menit.
Kurikulum ‘Ma’rifatul
Insan’:
- Ta’rif Al Insan (Pengenalan Manusia), tujuan materi:
- Memahami pengertian manusia sebagai makhluk yang terdiri dari ruh dan jasad yang dimuliakan Allah dengan tugas ibadah dan kedudukan sebagai khalifah di muka bumi.
- Memahami potensi kelebihan manusia dari makhluk lainnya dalam hati, akal, dan jasadnya.
- Haqiqatul Insan (Hakikat Manusia), tujuan mater:
- Memahami kondisi manusia sebagai makhluk yang lemah dan bagaimana kelemahan tersebut dapat menjadi kemuliaan.
- Memahami tugas yang dibebankan kepada manusia, pilihan yang benar dalam tugas tersebut dan tanggung jawab bagi pelaksanaan atau pengingkarannya.
- Thaqatul Insan (Potensi Manusia), tujuan materi:
- Memahami bahwa potensi pendengaran, penglihatan, dan hati (akal) akan dimintai pertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas ibadah.
- Memahami bahwa menunaikan tugas akan mempertahankan posisi kekhalifahannya.
- Menyadari akibat khianat terhadap tugas ibadat akan kembali kepada diri sendiri.
- Nafsul Insan (Nafsu Manusia), tujuan materi:
- Memahami kedudukan ruh dan hawa nafsu yang mempengaruhi jiwa manusia sehingga menimbulkan kondisi kejiwaan.
- Memahami bahwa dominasi dzikir, akal atau shahwat dapat menimbulkan tiga kondisi jiwa, yakni mutmainnah, lawwamah, atau amanah.
- Termotivasi untuk meningkatkan keimanan sehingga mencapai nafsu mutmainnah.
- Shifatul Insan (Sifat Manusia), tujuan materi:
- Memahami dua jalan yang diberikan Allah kepada manusia melalui jiwanya.
- Memahami bahwa untuk meningkatkan kualitas taqwa, ia harus beribadah dengan senantiasa melakukan pensucian jiwa.
- Termotivasi untuk meninggalkan sifat (tabiat) buruk manusia dan menjauhi maksiat.
Kurikulum
‘Ma’rifatul Islam’:
- Bimbingan Baca Al Qur’an dan Tuntunan Shalat, tujuan materi:
- Memahami cara dan mampu membaca al Qur’an yang benar menurut ilmu Tajwidz
- Memahami cara dan mampu melakukan shalat wajib dan sunnah.
- Makna al Islam, tujuan materi:
- Memahami bahwa makna al Islam yang selama ini dipahami tidak sepenuhnya benar.
- Memahami makna al Islam yang ditarik dari pengertian generiknya yang umum dan universal, yaitu agama semua nabi dan rasul sepanjang zaman.
- Memahami konsekuensi memahami makna al Islam terhadap cara pandang dalam beragama.
- Trilogi Misi Islam, tujuan materi:
- Memahami bahwa Islam memiliki trilogi misi, yakni dakwah ila al khair, ammar ma’ruf, dan nahi munkar
- Memahami bahwa trilogi misi tersebut harus menjadi spirit seorang muslim dan umat Islam, sekaligus menjadi kekuatan yang menyatukan umat Islam di tengah segala perbedaan yang dimilikinya.
- Islam di Indonesia, tujuan materi:
- Memahami sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia (dulu bumi nusantara/Hindia Belanda)
- Memahami bahwa Islam menjadi media persemaian tumbuhnya nasionalisme Indonesia.
- Memahami bahwa Islam Indonesia termasuk dalam salah satu dari tiga corak besar kebudayaan Islam di dunia, yakni corak kebudayaan Arab, corak kebudayaan Persia, dan corak kebudayaan Islam Asia Tenggara (Melayu).
- Memahami permasalahan dan potensi umat Islam Indonesia.
Kurikulum ‘Ma’rifatul
Mahasiswa’:
- Pengenalan Mahasiswa, tujuan materi:
- Memahami pengertian ‘mahasiswa’ secara semantis dan historis
- Memahami jatidiri mahasiswa sebagai pemuda, ‘agent of changes’, dan kaum intelektual (yang tercerahkan) muda.
- Periode Mahasiswa dan Peluang Pembentukan Karakter Diri, tujuan materi:
- Memahami bahwa periode menjadi mahasiswa merupakan periode kritis dalam hidup seseorang, baik dalam makna waktunya yang singkat maupun dalam kaitannya dengan fase pertumbuhan seseorang.
- Memahami bahwa periode menjadi mahasiswaa adalah periode yang sangat tepat untuk membentuk karakter diri yang relevan bagi masa depan yang gemilang.
- Fungsi dan Peran Mahasiswa di Bidang Keilmuan dan Profesionalitas, tujuan materi:
- Memahami mahasiswa dalam kapasitas fungsi dan perannya sebagai insan akademis yang mengusung misi keilmuan.
- Memahami mahasiswa dalam kapasitas fungsi dan perannya sebagai insan akademis yang dipersiapkan menjadi kalangan profesional di bidangnya masing-masing.
- Fungsi dan Peran Mahasiswa Bagi Masa Depan Umat dan Bangsa, tujuan materi:
- Memahami mahasiswa sebagai bagian dari masa depan umat dan bangsa di masa depan.
- Memahami bahwa mahasiswa memiliki fungsi dan peran yang harus dijalani dalam rangka mewujudkan masa depan umat dan bangsa yang lebih baik.
Fase II :
Membentuk Manusia-Muslim-Mahasiswa Sejati
(Disesuaikan dengan
metode dan kurikulum Pembinaan Pasca LK I HMI)
[1] Spirit dakwah tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI
pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1)
mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
[2] Khususnya fase pembinaan pasca
Latihan Kader I. Masa mahasiswa baru adalah satu tahun, periode ini hanya cukup
hingga fase pembinaan pasca LK I dalam Pedoman Perkaderan HMI.
No comments:
Post a Comment